Diet dengan berpuasa sedang menjadi trend akhir-akhir ini, tapi hasilnya bisa jadi tidak lebih baik daripada diet tradisional dalam upaya menurunkan berat badan, demikian kesimpulan yang diambil dalam sebuah eksperimen terbaru.
Para peneliti mempelajari metode penurunan berat badan yang disebut sebagai "puasa alternatif", di mana orang mengurangi asupan kalori mereka setiap hari secara drastis ketika berpuasa, tapi makan lebih banyak dari biasanya pada hari-hari biasa.
Para peneliti secara acak memilih 100 orang dewasa penderita obesitas dan membaginya ke dalam tiga kelompok: kelompok puasa alternatif, kelompok diet tradisional dan kelompok yang tidak melakukan diet sama sekali. Peserta dalam kelompok puasa alternatif hanya mengkonsumsi 25 persen asupan kalori sehari-hari mereka (sekitar 500 kalori) pada hari puasa, dan 125 persen asupan pada hari-hari non puasa. Sebaliknya, kelompok diet tradisional mengkonsumsi 75 persen asupan kalori sehari-hari mereka setiap hari.
Setelah enam bulan, orang-orang di kelompok puasa dan kelompok diet tradisional telah berkurang berat badannya sekitar 7 persen, dibandingkan dengan kelompok yang tidak melakukan diet. Kemudian setelah satu tahun, para peserta di kedua kelompok diet tersebut memiliki berat badan 5 sampai 6 persen di bawah berat badan asli mereka. Menurut para peneliti, tidak ada perbedaan yang signifikan antara kelompok yang melakukan puasa alternatif dan kelompok yang mengikuti diet tradisional.
Lebih jauh lagi, 38 persen peserta dalam kelompok puasa memutuskan untuk berhenti mengikuti program penelitian sebelum berakhirnya masa satu tahun, umumnya karena mereka tidak puas dengan diet tersebut. Sementara itu, dari kelompok diet tradisional ada 29 persen peserta yang berhenti mengikuti progam. Peserta dalam kelompok puasa juga cenderung "curang"; ketika berpuasa, mereka makan lebih banyak daripada makanan yang diizinkan, dan makan lebih sedikit dari jatah yang disediakan pada hari-hari non puasa.
"Puasa alternatif dipromosikan sebagai metode alternatif yang lebih unggul untuk menurunkan berat badan dibandingkan pembatasan asupan kalori harian, dengan asumsi bahwa membatasi kalori pada hari-hari tertentu mestinya akan lebih mudah," demikian diungkapkan para peneliti dari University of Illinois di Chicago, dalam tulisannya di Jurnal JAMA Internal Medicine. Namun ternyata temuan terbaru menunjukkan bahwa hal ini tidak terjadi. "Temuan ini menunjukkan bahwa bagi para penderita obesitas, puasa alternatif memiliki kemungkinan kecil untuk dipraktekkan dalam jangka panjang, dibandingkan dengan diet tradisional yang membatasi asupan kalori harian,".
Penelitian tersebut juga menemukan tidak adanya perbedaan dalam tekanan darah, denyut jantung, kadar trigliserida, kadar gula darah maupun kadar insulin di antara dua kelompok diet tersebut.
Diet dengan puasa alternatif seperti diet "5: 2", yang mensyaratkan puasa dua hari dalam seminggu dan makan secara normal di lima hari lainnya, meningkat popularitasnya dalam beberapa tahun terakhir. Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa diet dengan puasa alternatif mampu menurunkan berat badan secara signifikan, dan lebih mudah dilakukan daripada diet tradisional. Akan tetapi, penelitian ini cenderung dilakukan dalam skala kecil dan berjangka waktu pendek. Studi terbaru ini merupakan salah satu eksperimen terlama yang pernah dilakukan untuk melihat efek dari puasa alternatif.
Meskipun demikian, beberapa penderita obesitas mungkin lebih memilih diet dengan puasa alternatif ini daripada diet tradisional yang membatasi kalori setiap hari. Studi selanjutnya mungkin dapat mengungkap hal-hal yang membuat puasa alternatif lebih dapat ditolerir bagi beberapa orang daripada kelompok lainnya, misalnya: beberapa orang mungkin merasa lebih mudah berpuasa dalam jangka waktu yang lebih lama dibandingkan orang lain.
Penting juga untuk dicatat bahwa penelitian ini melibatkan penderita obesitas yang metabolismenya sehat, artinya: mereka tidak memiliki faktor risiko penyakit jantung atau diabetes. Masih belum jelas apakah temuan tersebut akan sama hasilnya pada kelompok orang yang memiliki pebedaan sistem metabolisme, demikian diungkapkan seorang peneliti.
---
(sumber: Live Science | sumber gambar: Pixabay)
Comments (0)